http://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/issue/feedJournal of Community Mental Health and Public Policy2025-04-23T06:33:53+00:00Rika Yunitacmhp.journal@gmail.comOpen Journal SystemsJournal Of Community Mental Health and Public Policyhttp://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/185THE RELATIONSHIP BETWEEN STRESS AND NUTRITIONAL STATUS OF STUDENTS IN INDONESIA: A CROSS-SECTIONAL STUDY 2025-04-23T06:33:52+00:00Nurhazizah Br Saidnurhazizah1100000179@uinsu.ac.idZata Ismahzataismah@uinsu.ac.idSiti Aisyahstsyh222@gmail.com<table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Nutritional status is the condition of the body caused by food intake and nutrient utilization. The categories of nutritional status are undernutrition, normal nutrition, and over nutrition. Nutritional status can be categorized in various ways, including using the body mass index (BMI). Purpose: was to determine the relationship between stress and nutritional status of university students. Methods: This research design used a cross-sectional design due to the analysis of this research which. The population in this study were students of the Faculty of Public Health, State Islamic University of North Sumatra. The sample was done by random sampling which amounted to 210 respondents. This research was conducted at the Faculty of Public Health, State Islamic University of North Sumatra in July 2024. The research data collected were processed using SPSS version 21 with Univariate and Bivariate tests. Collecting research data using the SRQ 29 (Self-Reporting Questionnaire) questionnaire developed by WHO. Results: There is a relationship between stress and the nutritional status of students (p-value = 0.003). Conclusion: Stress affects the nutritional status of students even though there are other factors that can affect the nutritional status of students such as diet, physical activity, and others</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar Belakang: Status gizi ialah kondisi tubuh yang disebabkan oleh asupan makanan dan pemakaian zat gizi. Kategori dari status gizi terdiri dari gizi buruk, gizi normal, dan gizi lebih. Pengelompokan status gizi bisa menggunakan berbagai cara, termasuk memakai indeks massa tubuh (IMT). Tujuan: Untuk mengetahui hubungan stress dengan status gizi mahasiswa. Metode: Desain penelitian ini memakai desain cross sectional dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian analisis Populasi didalam penelitian ini merupakan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling yang berjumlah 210 orang responden. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Sumatera Utara pada bulan juli 2024. Data penelitian yang terkumpul diolah menggunakan SPSS versi 21 dengan uji Univariat dan Bivariat. Pengumpulan data penelitian dengan menggunakan kuesioner SRQ 29 (Self-Reporting Questionnaire) yang dikembangkan oleh WHO. Hasil: Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara stress dengan status gizi mahasiswa (p-value = 0,003). Kesimpulan: Stres mempengaruhi status gizi mahasiswa walaupun ada faktor lain yang bisa mempengaruhi status gizi mahasiswa seperti pola makan, aktivitas fisik, dan lainnya.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table>2025-04-08T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 Nurhazizah Br Said, Zata Ismah, Siti Aisyahhttp://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/210MODELS OF PUBLIC MENTAL HEALTH IN PRACTICE: A SCOPING REVIEW2025-04-23T06:33:52+00:00Vishnu Mangalamcheryvishnumanohar2@gmail.comM. Vaseelvaseelm90@gmail.comNalakath A Uvaisdruvaisna@gmail.com<table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Public mental health models are critical for mitigating diverse mental healthcare needs. However, there is limited understanding of effective models in practice. Purpose: This scoping review aims to analyse various existing models of public mental health implementation globally and in India. Methods: A comprehensive literature search was conducted across multiple databases, including PubMed and Google Scholar, using the keywords: ("public mental health" OR "community mental health") AND ("models" OR “frameworks”). The literature search identified 60 potential manuscripts. After screening and full-text assessment, 31 manuscripts were selected for analysis, providing insights into public mental health models. The selection process involved excluding manuscripts not relevant to the research question (n=2), older studies (n=11) and those with inaccessible full texts (n=16). Results: The scoping review identified several effective models: community-based (initiatives and awareness campaigns), settings-based (hospital, school, and workplace programs), crisis intervention (disaster support and suicide prevention), digital (telehealth and mobile applications), and peer support models. Conclusions: There is an urgent need to integrate diverse models of public mental health models into healthcare services. It is crucial in order to effectively address mental health needs and improve outcomes.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <table> <tbody> <tr> <td> <p>Latar Belakang: Model kesehatan mental publik sangat penting untuk mengurangi beragam kebutuhan perawatan kesehatan mental. Namun, pemahaman tentang model yang efektif dalam praktiknya masih terbatas. Tujuan: Tinjauan cakupan ini bertujuan untuk menganalisis berbagai model implementasi kesehatan mental publik yang ada secara global dan di India. Metode: Pencarian literatur yang komprehensif dilakukan di berbagai basis data, termasuk PubMed dan Google Scholar, menggunakan kata kunci: ("kesehatan mental publik" ATAU "kesehatan mental komunitas") DAN ("model" ATAU "kerangka kerja"). Pencarian literatur mengidentifikasi 60 manuskrip potensial. Setelah penyaringan dan penilaian teks lengkap, 31 manuskrip dipilih untuk dianalisis, yang memberikan wawasan tentang model kesehatan mental publik. Proses seleksi melibatkan pengecualian manuskrip yang tidak relevan dengan pertanyaan penelitian (n=2), penelitian lama (n=11) dan penelitian dengan teks lengkap yang tidak dapat diakses (n=16). Hasil: Tinjauan cakupan mengidentifikasi beberapa model yang efektif: berbasis komunitas (inisiatif dan kampanye kesadaran), berbasis lingkungan (program rumah sakit, sekolah, dan tempat kerja), intervensi krisis (dukungan bencana dan pencegahan bunuh diri), digital (telehealth dan aplikasi seluler), dan model dukungan sebaya. Kesimpulan: Ada kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan berbagai model kesehatan mental publik ke dalam layanan kesehatan. Hal ini penting untuk mengatasi kebutuhan kesehatan mental dan meningkatkan hasil secara efektif.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table>2025-04-08T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 Vishnu Mangalamchery, M. Vaseel, Nalakath A Uvaishttp://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/219THE RELATIONSHIP BETWEEN AUTHORITARIAN PARENTING AND STRESS LEVELS AMONG INDONESIAN ADOLESCENTS: A CROSS-SECTIONAL STUDY 2025-04-23T06:33:52+00:00Fira Mutiara Anugrahfiraanugrah19@gmail.comLisbet Octovia Manalu lisbetpediatrik@gmail.com<table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Parenting is important for psychological development in adolescents. Each type of parenting has a different impact on the emotional and social development of children. Parents who implement authoritarian parenting will make children tend to be difficult to control and not confident in their decisions. Purpose: To determine the relationship between authoritarian parenting and stress levels in adolescents. Method: This study used quantitative research with a cross-sectional approach. The number of samples was 139 respondents using random sampling techniques. The research instrument used an authoritarian parenting questionnaire and a daily stress response scale (DSRS). The statistical test used in this study was the Spearman rank test. Results: A total of 80 (56.6%) respondents had an authoritarian parenting pattern with a moderate category and 76 (54.7%) respondents had a stress level with a moderate category. The Spearman rank correlation test produced a P value of 0.000 (P <0.05) which means there was a significant relationship between authoritarian parenting and stress levels in adolescents. This means that the more authoritarian parenting was applied, the higher the level of stress experienced by adolescents. Conclusion: There is a significant relationship between authoritarian parenting and stress levels in adolescents with a positive relationship direction.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar Belakang: Pola asuh orang tua sangat penting terhadap perkembangan psikologis pada remaja. Setiap jenis pola asuh memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap perkembangan emosional dan sosial anak. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter akan membuat anak cenderung susah diatur dan tidak percaya diri atas keputusannya. Tujuan: Mengetahui hubungan pola asuh otoriter dengan tingkat stres pada remaja. Metode: Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sample 139 responden dengan menggunakan teknik random sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner pola asuh otoriter dan daily stress response scale (DSRS). Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji Spearman rank. Hasil: Sebanyak 80 (56,6%) responden memiliki pola asuh otoriter dengan kategori sedang dan 76 (54,7%) responden memiliki tingkat stres dengan kategori sedang. Uji korelasi spearman rank menghasilkan nilai P 0,000 (P<0,05) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan tingkat stres pada remaja. Hal ini berarti bahwa semakin pola asuh otoriter yang diterapkan, semakin tinggi tingkat stres yang dialami oleh remaja. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan tingkat stres pada remaja dengan arah hubungan yang positif.</p> </td> </tr> </tbody> </table>2025-04-09T07:55:18+00:00Copyright (c) 2025 Fira Mutiara Anugrah, Lisbet Octovia Manaluhttp://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/238THE ASSOCIATION BETWEEN SCREEN TIME AND PSYCHOLOGICAL DISTRESS AMONG INDONESIAN FEMALE ADOLESCENTS: A CROSS-SECTIONAL STUDY2025-04-23T06:33:52+00:00Alma Feriyantialmaferiyanti@fkm.unmul.ac.idRina Tri Agustini rinatriagustini@fkm.unmul.ac.idLies Permana liespermana@fkm.unmul.ac.idNur Rohmahnurrohmah@fkm.unmul.ac.idAnnisa Nurrachmawati annisanurrachmawati@fkm.unmul.ac.idAgustin Putri Rahayuputrirahayu@fkm.unmul.ac.idMohammad Fikrifikrimohammad@fkm.unmul.ac.id<table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Excessive smartphone use has a negative impact on health, especially in the adolescent age group. Adolescent females who screen time for two hours or more a day after school have the potential to experience psychological distress. Purpose: To analyze the relationship between screen time behavior and psychological distress in high school adolescent females. Methods: This quantitative study using a cross-sectional design. The research locations were carried out in three schools, namely SMA (Senior High School) 9 Balikpapan, SMA 2 Samboja and SMA 3 Penajam Paser Utara. The population was 1,112 adolescent females and the sample was 272 adolescent females. The sampling technique used was proportional random sampling. The analysis test used the chi-square test. Variable measurements of screen time and psychological distress are used in the Questionnaire for Screen Time of Adolescents and the Kessler Psychological Distress Scale. Results: The p-value < 0.05 means that there is a relationship between screen time and psychological distress in high school adolescent females. Conclusion: Excessive screen time has an impact on the psychological distress of high school females. There is a need to increase mental health literacy and support for parents and schools in restricting the use of smartphones at home and at school.</p> <p><strong>Abstrak </strong></p> <table> <tbody> <tr> <td> <p>Latar Belakang: Penggunaan smartphone yang berlebihan berdampak negatif pada kesehatan terkhususnya pada kelompok usia remaja. Remaja putri yang melakukan screen time selama dua jam atau lebih perhari setelah pulang sekolah berpotensi mengalami tekanan psikologis. Tujuan: Menganalisis hubungan antara perilaku screen time dan tekanan psikologis pada remaja putri sekolah menengah atas. Metode: Merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain cross-sectional. Lokasi penelitian dilaksanakan pada tiga sekolah yaitu SMA 9 Balikpapan, SMA 2 Samboja dan SMA 3 Penajam Paser Utara. Populasi pada penelitian ini sebesar 1.112 remaja putri dan sampel penelitian yaitu sebanyak 272 remaja putri. Teknik sampling yang digunakan yaitu proportional random sampling. Uji analisis menggunakan uji chi-square. Pengukuran variabel screen time dan tekanan psikologis menggunakan Questionnaire for Screen Time of Adolescents dan Kessler Psychological Distress Scale. Hasil: Nilai p-value < 0,05 yang artinya ada hubungan antara screen time dengan tekanan psikologis pada remaja putri sekolah menengah atas. Kesimpulan: Screen time berlebihan memiliki dampak pada tekanan psikologis pada remaja putri sekolah menengah atas. Perlu adanya peningkatan literasi kesehatan mental serta dukungan orang tua dan sekolah dalam memberikan pembatasan penggunaan smartphone di rumah maupun di sekolah.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table>2025-04-15T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 Alma Feriyanti, Rina Tri Agustini, Lies Permana, Nur Rohmah, Annisa Nurrachmawati, Agustin Putri Rahayu, Mohammad Fikrihttp://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/228LITERATURE REVIEW: THE RELATIONSHIP BETWEEN STRESS AND EMOTIONAL EATING AMONG UNIVERSITY STUDENTS IN INDONESIA2025-04-23T06:33:52+00:00Citta Nabila Rafida Putricitta.nabila.rafida-2021@fkm.unair.ac.idAyik Mirayanti Mandagiayikm@fkm.unair.ac.id<table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: The prevalence of emotional mental disorders in adulthood has been increasing annually, with stress identified as a significant risk factor. Purpose: This study aims to investigate the correlation between stress and emotional eating among Indonesian university students. Methods: A systematic literature review was conducted using the PRISMA-P framework, analyzing relevant international and national articles from the Google Scholar database. Results: College students who experience stress have been shown to engage in emotional eating. Furthermore, emotional eating has been demonstrated to heighten the probability of obesity. Conclusion: The study confirms a significant correlation between stress levels and emotional eating behaviors among college students.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar belakang: Prevalensi gangguan mental emosional pada usia dewasa meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu risiko terbesar penyebab gangguan mental adalah stres. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara stres dengan emotional eating pada mahasiswa di Indonesia. Metode: Penelitian ini menggunakan metode systematic literature review artikel internasional dan nasional tentang hubungan stres dengan emotional eating pada mahasiswa di Indonesia yang dipublikasikan pada database Google Scholar yang menggunakan metode PRISMA-. Hasil: Mahasiswa yang mengalami stres cenderung mengalami emotional eating. Selain itu, emotional eating berdampak pada peningkatan resiko obesitas. Kesimpulan: Stres pada mahasiswa berhubungan dengan perilaku emotional eating.</p> </td> </tr> </tbody> </table>2025-04-21T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 Citta Nabila Rafida Putri, Ayik Mirayanti Mandagihttp://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/241THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF DISCLOSURE AND RESILIENCE AMONG NURSES AT ACEH MENTAL HOSPITAL, INDONESIA: A CROSS-SECTIONAL STUDY2025-04-23T06:33:53+00:00Nazila Zahrinanazilazahrina7@gmail.comMarty Mawarpurymarty@usk.ac.idEka Dian Apriliaeka.aprilia@usk.ac.idArum Sulistyaniarum@usk.ac.id<table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Registered nurses employed in acute and semi-acute wards of mental hospitals frequently encounter elevated levels of stress, a significant component of which is the constant threat of violence from patients. Consequently, the capacity to adapt in challenging circumstances is referred to as resilience. Resilience, defined as the ability to cope with adversity, enables individuals to perceive challenges as catalysts for personal growth. Purpose: to identify the relationship between self-disclosure and the level of resilience exhibited by nurses at Aceh Mental Hospital. Methods: used a quantitative correlational approach, involved 45 nurses through a total sampling technique. The instruments used were the Resilience Scale for Nurse (RSN) (α = 0.830) and the Revised Self Disclosure Scale (RSDS) consisting of five dimensions with varying reliability. Results: A substantial relationship was identified between resilience and the dimensions of intent to disclose (p=0.002; r=0.456), amount of disclosure (p=0.029; r=0.326), and positive factor of disclosure (p=0.029; r=0.326). Meanwhile, the dimensions of honesty-accuracy and control of general depth did not show a significant relationship. Conclusion: Several factors related to self-disclosure have been shown to be positively associated with resilience, suggesting that openness may play a crucial role in enhancing the mental resilience of nurses working in high-risk environments.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <table> <tbody> <tr> <td> <p>Latar Belakang: Perawat yang bekerja di bangsal akut dan semi-akut Rumah Sakit Jiwa kerap menghadapi tekanan berat, termasuk risiko kekerasan dari pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan untuk beradaptasi dan tetap tangguh dalam situasi menantang, yang dikenal sebagai resiliensi. Resiliensi memungkinkan individu untuk melihat tekanan dan kesulitan sebagai peluang untuk berkembang. Tujuan: bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara self disclosure dengan tingkat resiliensi pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Aceh. Metode: Menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional, melibatkan 45 perawat melalui teknik total sampling. Instrumen yang digunakan adalah Resilience Scale for Nurse (RSN) (α = 0.830) dan Revised Self Disclosure Scale (RSDS) yang terdiri dari lima dimensi dengan reliabilitas bervariasi. Hasil: Terdapat hubungan signifikan antara resiliensi dengan dimensi intent to disclose (p=0.002; r=0.456), amount of disclosure (p=0.029; r=0.326), dan positive factor of disclosure (p=0.029; r=0.326). Sementara itu, dimensi honesty-accuracy dan control of general depth tidak menunjukkan hubungan signifikan. Kesimpulan: Beberapa aspek self disclosure berkorelasi positif dengan resiliensi, menunjukkan pentingnya keterbukaan dalam memperkuat daya tahan mental perawat di lingkungan kerja berisiko tinggi.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table>2025-04-21T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 Nazila Zahrina, Marty Mawarpury, Eka Dian Aprilia, Arum Sulistyanihttp://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/236THE RELATIONSHIP BETWEEN ANEMIA AND ANXIETY DISORDERS AMONG ADOLESCENT GIRLS IN BEKASI DISTRICT, INDONESIA: A CROSS-SECTIONAL STUDY2025-04-23T06:33:53+00:00Utami Putri Kinayunganutamiputrikinayungan@gmail.com<table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Anxiety disorders are major mental health problem in Indonesia. In addition, the prevalence of anemia in adolescents is still high. Research shows that low iron levels can increase the risk of mental disorders, including anxiety disorders. Many studies have linked anemia to depressive symptoms, but research on anxiety disorders has not been widely studied. Purpose: to analyze the relationship between anemia and anxiety disorders in female adolescents. Methods: Quantitative research with a cross-sectional design conducted in three distinguished public schools in Bekasi Regency. The number of samples was 173 female adolescents selected using purposive random sampling techniques with inclusion criteria of being willing to provide blood samples, female students aged 15-18 years, and residing in Bekasi Regency. The exclusion criteria included students who were on a diet and consuming antidepressant medications. Anemia status was measured by Quick Check HB and anxiety disorders were assessed using the Depression Anxiety Scale (DASS 42) questionnaire. Results: Anemia in female adolescents was found to be 31.2%. Anxiety disorders were found to be 78.6%. The Bivariate test showed that there was no relationship between anemia status and depressive disorders (p-value = 0,167). Conclusion: There is a relationship between anemia status and depressive disorders in adolescents.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Gangguan kecemasan menjadi masalah kesehatan mental utama di Indonesia. Selain itu, prevalensi risiko gangguan mental, termasuk gangguan kecemasan. Banyak studi yang mengkaitkan anemia dengan gejala depresi akan tetapi penelitian dengan gangguan kecemasan masih belum banyak diteliti. Tujuan: untuk menganalisis hubungan status anemia dengan gangguan kecemasan pada remaja. Metode: Penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional yang dilakukan di tiga sekolah unggulan di Kabupaten Bekasi. Jumlah sampel sebanyak 173 remaja putri yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive random sampling dengan kriteria inklusi bersedia diambil darahnya, berusia 15-18 tahun, dan berdomisili di Kabupaten Bekasi. Kriteria eksklusi mengonsumsi obat antidepresan dan sedang menjalani diet. Status anemia diukur Quick Check HB dan ganguan kecemasan dinilai mengguunakan kuesioner Depression Anxiety Scale (DASS 42). Hasil: Remaja putri anemia ditemukan sebesar 31,2%. Gangguan kecemasan ditemukan sebesar 78,6%. Uji bivariant menunjukkan tidak ada hubungan anatara status anemia dengan gangguan depresi (p-value = 0,167). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status anemia dengan gangguan depresi pada remaja. Perlu adanya studi lanjutan untuk melihat hubungan antara anemia dengan kecemasan.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table>2025-04-22T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 Utami Putri Kinayunganhttp://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/233SELF-HARM BEHAVIOR AMONG TEENAGER AND FATHER’S INVOLVEMENT IN PARENTING: A CROSS-SECTIONAL STUDY2025-04-23T06:33:53+00:00Zata Ismahzataismah@radenfatah.ac.idHaryanti Sinagaayysinaga@gmail.comDwi Despianadwidespiana_uin@radenfatah.ac.id<table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: A meta-analysis conducted in 2019 reported that 22.1% of individuals engaged in self-harming behaviors, with 17% of these cases occurring among adolescents. However, empirical research examining the association between paternal involvement and adolescent self-harm remains limited, warranting further investigation. Purpose: This study aims to assess paternal role in relation to self harm. Methods: A cross-sectional study was conducted in Medan, Indonesia, involving a sample of 1,221 high school students. Data collection utilized the Self-Harm Inventory (SHI). Statistical analyses included proportion and central distribution tests, one-way ANOVA, and Pearson correlation. Results: The findings reveal a statistically significant association between paternal involvement and self-harm behavior. Adolescents experiencing fatherlessness were found to be 15.42 times more likely to engage in self-harming behavior compared to those with positively involved fathers. Furthermore, a negative correlation was observed between paternal involvement and self-harm scores, indicating that reduced paternal engagement is associated with higher levels of self-harming behavior among adolescents. Conclusion: The absence of a father figure or inadequate paternal involvement is significantly associated with increased self-harm behavior in adolescents. These findings underscore the need for targeted interventions, including psychotherapeutic support and active involvement of close family members, to mitigate self-harm among this vulnerable population.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <table> <tbody> <tr> <td> <p>Latar belakang: Dalam meta-analisis tahun 2019 melaporkan terdapat 22,1% orang melukai diri sendiri (Self-harm) dan 17% diantaranya dilakukan oleh remaja. Minimnya penelitian keterlibatan ayah dengan terjadinya Self-harm pada remaja, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Tujuan: penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana peran ayah dalam hubungannya dengan Self-harm. Metode: desain cross sectional digunakan dalam penelitian ini yang dilakukan di Kota Medan. dengan sampel yang ditentukan sebanyak 1,221 siswa menengah atas. Instrumen yang digunakan Self-harm Inventory (SHI). Analisis yang digunakan yaitu uji proporsi dan distribusi central, one-way ANOVA dan Pearson Correlation. Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara fathering dengan Self-harm. Remaja yang mengalami fatherless akan berisiko 15,42 kali melakukan Self-harm pada dirinya dibandingkan ayah yang berperan positif. Juga ditemukan hasil korelasi negatif antara fathering dengan Self-harm, dimana semakin kurang peran ayah maka semakin tinggi skor perilaku self-harm remaja. Kesimpulan: Ketidakhadiran ayah berhubungan dengan terjadinya Self-harm pada remaja. Temuan ini menggarisbawahi perlunya dirumuskan intervensi, seperti dukungan psikoterapi dan keterlibatan aktif anggota keluarga terdekat, untuk mengurangi tindakan menyakiti diri sendiri didalam populasi rentan tersebut.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table>2025-04-22T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 Zata Ismah, Haryanti Sinaga, Dwi Despiana