https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/issue/feed Journal of Community Mental Health and Public Policy 2024-10-30T06:23:07+00:00 Rika Yunita cmhp.journal@gmail.com Open Journal Systems Journal Of Community Mental Health and Public Policy https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/171 LITERATURE REVIEW: THE RELATIONSHIP BETWEEN SMARTPHONE USE AND INCIDENTS OF ANXIETY (NOMOPHOBIA) AMONG ADOLESCENTS IN INDONESIA 2024-10-10T07:47:47+00:00 Ayun Zul Silmi ayunzulsilmi6025@gmail.com Syifa’ul Lailiyah syifaul.lailiyah@fkm.unair.ac.id <table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Smartphones were an information and communication technology that could not be separated from human life. High-intensity use of smartphones led to addiction. Dependence on smartphones could lead to anxiety disorders or so-called nomophobia. Purpose: To determine the relationship between smartphone, use and the incidence of anxiety (nomophobia) in adolescents in Indonesia. Methods: The literature review used national articles published in 2019-2024. Articles were searched using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews &amp; Meta-Analyses (PRISMA) method. Inclusion criteria include articles with quantitative research, as well as mixed methods with research subjects on adolescents in Indonesia. A total of eleven articles were included. This research used national standard articles with an article search database, namely Google Scholar and Garuda. Results: Based on the eleven articles analysed, there is a relationship between anxiety disorders (nomophobia) in adolescents in Indonesia and the intensity of their use. Conclusion: The high use of smartphones is associated with a higher tendency of nomophobia. High intensity of smartphone use is influenced by several factors, including various interesting features of smartphones, one of which is social media, the COVID-19 pandemic, and the feeling of not wanting to be left behind by trends among teenagers.</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar belakang: Smartphone merupakan salah satu teknologi informasi dan komunikasi yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia. Penggunaan smartphone dengan intensitas tinggi menyebabkan ketergantungan. Ketergantungan pada smartphone dapat menyebabkan timbulnya gangguan kecemasan atau yang disebut Nomophobia. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan penggunaan smartphone terhadap kejadian kecemasan (Nomophobia) pada remaja di Indonesia. Metode: Penelitian studi literatur menggunakan artikel nasional tahun terbit 2019-2024. Pencarian artikel dilakukan menggunakan metode Preferred Reporting Items for Systematic Review &amp; Meta-Analyses (PRISMA). Kriteria inklusi meliputi artikel dengan penelitian kuantitatif, serta mix methods dengan subjek penelitian pada remaja di Indonesia. Sebanyak sebelas artikel yang masuk kedalam kriteria. Penelitian ini menggunakan artikel berstandar nasional dengan database pencarian artikel yaitu Google Scholar dan Garuda. Hasil: Berdasarkan sebelas artikel yang dianalisis, terdapat hubungan antara gangguan kecemasan (Nomophobia) pada remaja di Indonesia dengan intensitas penggunaannya. Kesimpulan: Tingginya penggunaan smartphone dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain macam-macam fitur yang menarik pada smartphone salah satunya yaitu media sosial, adanya pandemi COVID-19, dan perasaan tidak ingin ketinggalan tren di kalangan remaja.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table> <p>&nbsp;</p> 2024-09-24T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2024 Ayun Zul Silmi, Syifa’ul Lailiyah https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/160 ASSOCIATION BETWEEN SOCIAL MEDIA AND MENTAL HEALTH CHANGES AMONG GEN-Z IN BATAM, INDONESIA: A CROSS-SECTIONAL STUDY 2024-10-10T07:47:48+00:00 Kelvin Tang 2231206.kelvin@uib.edu Chelsea Hilton 2231086.chelsea@uib.edu Risna Yunita 2231055.risna@uib.edu Riyaldi Walvinson 2231024.riyaldi@uib.edu Paerin paerinwei91@gmail.com <p>Background: This study explores the association between YouTube usage and the mental health status of Gen-Z, focusing on the roles of social anxiety and parasocial interaction in YouTube addiction. Purpose: To identify the link between social anxiety (LSAS) and parasocial interaction (PSI) and YouTube addiction (IAT), while also evaluating the role of social support (MSPSS). Methods: Data were collected from 380 respondents in Batam City. The measurement tools included the Internet Addiction Test (IAT), LieBowltz Social Anxiety Scale (LSAS), Parasocial Interaction (PSI), and the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Results: Multiple regression analysis revealed that 84.5% of the variability in YouTube addiction can be explained by LSAS, PSI, and MSPSS. The F-test results indicated high significance (F = 681.862, p &lt; 0.05). The t-test showed that LSAS (B = 0.609, t = 11.623, p &lt; 0.0001) and PSI (B = 0.707, t = 6.642, p &lt; 0.0001) had a significant influence on IAT, while MSPSS was not significant (B = 0.067, t = 0.893, p = 0.372). The regression model for IAT was IAT = -2.151 + 0.609LSAS + 0.707PSI + 0.067MSPSS, and for PSI was PSI = -2.715 + 0.517LSAS. Conclusion: Confirm that social anxiety and parasocial interaction significantly affect YouTube addiction, while social support does not show a significant influence.</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar Belakang: Penelitian ini mengeksplorasi hubungan penggunaan YouTube dengan kesehatan mental anak-anak Gen-Z, dengan fokus pada peran kecemasan sosial dan interaksi parasosial dalam kecanduan YouTube. Tujuan: untuk mengidentifikasi hubungan antara kecemasan sosial (LSAS) dan interaksi parasosial (PSI) dengan kecanduan YouTube (IAT), serta mengevaluasi peran dukungan sosial (MSPSS). Metode: Data dikumpulkan dari 380 responden di Kota Batam. Alat ukur yang digunakan mencakup Internet Addiction Test (IAT), LieBowltz Social Anxiety Scale (LSAS), Parasocial Interaction (PSI), dan Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Hasil: Analisis regresi berganda mengungkapkan bahwa 84,5% variabilitas kecanduan YouTube dapat dijelaskan oleh LSAS, PSI, dan MSPSS. Hasil uji F menunjukkan signifikansi tinggi (F = 681,862, p &lt; 0,05). Uji t menunjukkan bahwa LSAS (B = 0,609, t = 11,623, p &lt; 0,0001) dan PSI (B = 0,707, t = 6,642, p &lt; 0,0001) memiliki pengaruh signifikan terhadap IAT, sedangkan MSPSS tidak signifikan (B = 0,067, t = 0,893, p = 0,372). Model regresi untuk IAT adalah IAT = -2,151 + 0,609LSAS + 0,707PSI + 0,067MSPSS, dan untuk PSI adalah PSI = -2,715 + 0,517LSAS. Kesimpulan: Kecemasan sosial dan interaksi parasosial berpengaruh signifikan terhadap kecanduan YouTube, sedangkan dukungan sosial tidak menunjukkan pengaruh signifikan.</p> </td> </tr> </tbody> </table> <p>&nbsp;</p> 2024-09-24T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2024 Kelvin Tang, Chelsea Hilton, Risna Yunita, Riyaldi Walvinson, Paerin https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/168 FACTORS INFLUENCING TELEHEALTH UTILIZATION IN MENTAL HEALTH SERVICES: SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW 2024-10-10T07:47:48+00:00 Khansa Fatihah Muhammad khansafatihahm@gmail.com Anhari Achadi aachadi@gmail.com <p>Background: Mental health is an increasing concern in public policy, demanding better services and support. Consultations and treatments for mental health can be accessed through online services via telehealth. While telehealth offers advantages for mental health services, it also presents challenges, necessitating improvements in quality to enhance service delivery. Purpose: This journal aims to explore factors influencing the use of telehealth for mental health services, focusing on technology, telehealth quality, and other relevant aspects. Methods: A systematic literature review was conducted using articles sourced from Google Scholar, Garuda, and ProQuest. Results: Telemedicine, as a component of telehealth, has emerged as a vital alternative to in-person mental health care. Despite challenges such as limited technological access and privacy concerns, electronic and telephone-based platforms have demonstrated the potential to empower patients and enhance care accessibility. Conclusion: The increasing importance of mental health has raised demand for efficient digital solutions like telehealth, which can lower costs and improve service access. However, expanding telehealth requires addressing challenges such as technological limitations, privacy issues, and the need for supportive policies. Tackling these issues is essential for integrating telehealth into mainstream mental health services and ensuring sustainable growth.</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Latar Belakang: Kesehatan mental menjadi perhatian yang semakin meningkat dalam kebijakan publik, menuntut layanan dan dukungan yang lebih baik. Konsultasi dan pengobatan kesehatan mental dapat diakses melalui layanan online dengan telehealth. Meskipun telehealth menawarkan berbagai keuntungan untuk layanan kesehatan mental, ada juga tantangan yang memerlukan peningkatan kualitas untuk memperbaiki penyampaian layanan. &nbsp;Tujuan: untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan telekesehatan untuk layanan kesehatan mental, dengan fokus pada teknologi, kualitas telekesehatan, dan aspek-aspek relevan lainnya. Metode: Tinjauan literatur sistematis dilakukan dengan menggunakan artikel yang bersumber dari Google Scholar, Garuda, dan ProQuest. Hasil: Telemedicine, sebagai bagian dari telehealth, telah muncul sebagai alternatif penting untuk perawatan kesehatan mental secara langsung. Meskipun terdapat tantangan seperti keterbatasan akses teknologi dan masalah privasi, platform berbasis elektronik dan telepon menunjukkan potensi untuk memberdayakan pasien dan meningkatkan akses perawatan. Kesimpulan: Peningkatan kepentingan kesehatan mental telah meningkatkan permintaan terhadap solusi digital yang efisien seperti telehealth, yang dapat menurunkan biaya dan meningkatkan akses layanan. Namun, perluasan telehealth memerlukan penanganan tantangan seperti keterbatasan teknologi, masalah privasi, dan kebutuhan akan kebijakan yang mendukung. Mengatasi tantangan ini penting untuk mengintegrasikan telehealth dalam layanan kesehatan mental utama dan memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan.</p> </td> </tr> </tbody> </table> <p>&nbsp;</p> 2024-09-25T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2024 Khansa Fatihah Muhammad, Anhari Achadi https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/159 CORELATION BETWEEN NEUROTICISM AND SUPERSTITIOUS BELIEF IN JAVANESE SOCIETY, INDONESIA: A CROSS-SECTIONAL STUDY 2024-10-10T07:47:48+00:00 Rara Asra Luthvi Saskia rarasaskiaa@students.unnes.ac.id Amri Hana Muhammad amrihana@mail.unnes.ac.id <table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Superstitious beliefs which started from negative emotions appear to be related to the neuroticism personality in people who also have a tendency to negative emotions. Though both are not influenced by one another, they do share certain commonalities that are brought on by unfavourable feelings like worry, anxiety, and low self-esteem. Purpose: This study aims to reveal whether there is a relationship between the variable’s neuroticism and superstitious beliefs. Methods: This study used a neuroticism and superstitious belief scale which was created based on its aspects. This study used a cross-sectional quantitative research approach with a correlational design. It was conducted with a population of Javanese people who live in Javanese culture or claim to have Javanese culture. The studz used purposive sampling technique with a total of 219 samples. Result: The results of the hypothesis test for the variables neuroticism and superstitious belief showed that Pearson’s r value was 0.991. It means there was a positive relationship between the two variables in the perfect category. Conclusion: This study concludes that the results of neuroticism and superstitious beliefs in Javanese society were generally in the moderate category.</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar Belakang: Superstitious belief yang berpangkal dari emosi negatif ini nampak memiliki keterkaitan dengan kepribadian neuroticism pada diri individu yang juga memiliki kecenderungan emosi negatif. Namun keduanya tidak mempengaruhi satu sama lain, melainkan memiliki kesamaan yang lahir melalui emosi negatif seperti kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, serta ketidak percayaan diri. Tujuan: Bertujuan untuk melihat adakah hubungan antara variabel neuroticism dan superstitious belief. Metode: Menggunakan skala neuroticism dan superstitious belief yang dibuat berdasarkan aspek-aspeknya. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif cross sectional dengan desain korelasional. Dilakukan dengan populasi masyarakat Jawa yang hidup dalam budaya atau mengakui berbudaya Jawa. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan jumlah 219 sampel. Hasil: Uji hipotesis variabel neuroticism dan superstitious belief menunjukan nilai Pearson’s r menunjukkan angka 0,991 yang artinya terdapat hubungan posittif antar dua variabel dalam kategori sempurna. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil neuroticism dan superstitious belief pada masyarakat Jawa secara umum berada dalam kategori sedang.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table> <p>&nbsp;</p> 2024-09-23T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2024 Rara Asra Luthvi Saskia, Amri Hana Muhammad https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/179 LITERATURE REVIEW: THE IMPACT OF WORK STRESS, WORKLOAD, AND WORK ENVIRONMENT ON EMPLOYEE’S TURNOVER INTENTION IN INDONESIA 2024-10-30T06:23:07+00:00 Oktario Dinansa Khoir oktario.dinansa.khoir-2021@fkm.unair.ac.id Endang Dwiyanti endang.dwiasfar@fkm.unair.ac.id Ayik Mirayanti Mandagi ayikm@fkm.unair.ac.id Afan Alfayad afan.alfayad@psn.ac.id <table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Employee turnover intention is a significant challenge for organizations, impacting productivity and operational costs. Understanding its contributing factors is crucial for effective human resource management. Purpose: To analyze the influence of work stress, workload, and work environment on employee turnover intention across various sectors in Indonesia. Methods: A systematic review of research articles published between 2020 and 2022 was conducted using the PRISMA-P approach. Literature research was performed through electronic databases using predefined keywords. Results: Work stress and workload generally showed significant positive effects on turnover intention (p &lt; 0.05 in most studies). Work environment typically demonstrated a significant negative effect (p &lt; 0.05), with one exception. Simultaneous analysis revealed substantial contributions of these factors to turnover intention, with an explained variance reaching up to 75.2%. One study found a non-significant negative relationship between work stress and turnover intention, highlighting the complexity of these relationships. Conclusion: Work stress, workload, and work environment significantly influence employee turnover intention, though effects may vary across contexts. A comprehensive approach in human resource management, focusing on these factors, is crucial for enhancing employee retention and organizational productivity.</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar belakang: Turnover intention karyawan merupakan tantangan signifikan bagi organisasi, berdampak pada produktivitas dan biaya operasional. Memahami faktor-faktor yang berkontribusi sangat penting untuk manajemen sumber daya manusia yang efektif. Tujuan: Menganalisis pengaruh stres kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja terhadap turnover intention karyawan di berbagai sektor di Indonesia. Metode: Tinjauan sistematis terhadap enam artikel penelitian yang dipublikasikan antara tahun 2020 dan 2022 dilakukan menggunakan pendekatan PRISMA-P. Pencarian literatur dilaksanakan melalui basis data elektronik menggunakan kata kunci yang telah ditentukan. Hasil: Stres kerja dan beban kerja umumnya menunjukkan pengaruh positif yang signifikan terhadap turnover intention (p &lt; 0,05 pada sebagian besar studi). Lingkungan kerja biasanya menunjukkan pengaruh negatif yang signifikan (p &lt; 0,05), dengan satu pengecualian. Analisis simultan mengungkapkan kontribusi substansial dari faktor-faktor ini terhadap turnover intention, dengan varians yang dijelaskan mencapai 75,2%. Satu studi menemukan hubungan negatif yang tidak signifikan antara stres kerja dan turnover intention, menunjukkan kompleksitas hubungan ini. Kesimpulan: Stres kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja secara signifikan mempengaruhi turnover intention karyawan, meskipun efeknya dapat bervariasi antar konteks. Pendekatan komprehensif dalam manajemen SDM yang berfokus pada faktor-faktor ini sangat penting untuk meningkatkan retensi karyawan dan produktivitas organisasi.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table> <p>&nbsp;</p> 2024-10-01T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2024 Oktario Dinansa Khoir, Endang Dwiyanti, Ayik Mirayanti Mandagi, Afan Alfayad https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/166 STRESS AND DYSPEPSIA SYMPTOMS AMONG STUDENTS IN INDONESIA: A CROSS-SECTIONAL STUDY 2024-10-10T07:47:49+00:00 Rahmi Susanti rahmi.susanti@fkm.unmul.ac.id Annisa Aulia Rahayu annisaauliarahayu03@gmail.com Anisa Aulia Hasmi anisaauliahasmi@gmail.com <table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Dyspepsia syndrome is a common health issue among adolescents, with a global prevalence estimated at 20-30%. In Indonesia, the 2018 Riskesdas data indicated that the prevalence among those aged 15-24 was 18.3%. Factors associated with dyspepsia syndrome in adolescents include gender, stress, eating frequency, and specific food consumption. Purpose: This study aims to analyze the relationship between respondent characteristics (gender, stress, eating frequency, food consumption, smoking habits, and exercise) and dyspepsia incidence among adolescents living in boarding houses. Methods: This study used a cross-sectional design, involving 52 respondents. Data was collected via questionnaires and analyzed with the chi-square test. Result: Most respondents were female (82.7%), had poor eating frequency (86.5%), poor stress conditions (84.6%), preferred spicy foods (75%), consumed caffeine (80.8%), and rarely exercised (84.6%). The analysis revealed a significant association between stress conditions and dyspepsia syndrome (p=0.022), while gender, eating frequency, food consumption, smoking habits, and exercise showed no association. Conclusion: Poor stress conditions are a risk factor for dyspepsia syndrome in adolescents. Efforts are needed to reduce stress levels through education on stress management and healthy dietary practices to prevent dyspepsia syndrome.</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar Belakang: Sindrom dispepsia adalah masalah kesehatan yang sering dialami remaja, dengan prevalensi global diperkirakan mencapai 20-30%. Di Indonesia, data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi dispepsia pada kelompok usia 15-24 tahun adalah 18,3%. Faktor-faktor yang diduga berkaitan dengan sindrom dispepsia pada remaja meliputi jenis kelamin, stres, frekuensi makan, dan konsumsi makanan tertentu. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik responden (jenis kelamin, stres, frekuensi makan, konsumsi makanan, kebiasaan merokok, dan olahraga) dengan kejadian sindrom dispepsia pada remaja yang tinggal di asrama. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan total 52 responden. Data dikumpulkan melalui kuesioner dan dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil: Mayoritas responden adalah perempuan (82,7%), memiliki frekuensi makan yang buruk (86,5%), kondisi stres yang buruk (84,6%), menyukai makanan pedas (75%), mengonsumsi kafein (80,8%), dan jarang berolahraga (84,6%). Analisis menunjukkan bahwa kondisi stres berhubungan signifikan dengan sindrom dispepsia (p=0,022), sementara jenis kelamin, frekuensi makan, konsumsi makanan, kebiasaan merokok, dan olahraga tidak berhubungan. Kesimpulan: Kondisi stres yang buruk adalah faktor risiko sindrom dispepsia pada remaja. Upaya untuk mengurangi tingkat stres melalui pendidikan manajemen stres dan pola makan sehat sangat diperlukan untuk mencegah sindrom dispepsia.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table> <p>&nbsp;</p> 2024-10-01T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2024 Rahmi Susanti, Anisa Aulia Rahayu, Anisa Aulia Hasmi https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/182 THE RELATIONSHIP BETWEEN GENDER AND THE LEVEL OF DEPRESSION AMONG STUDENTS IN INDONESIA: A CROSS-SECTIONAL STUDY 2024-10-10T07:47:50+00:00 Irma Hanifatu Sa’adah irma.hanifatu.saadah-2021@fkm.unair.ac.id Rifka Pramudia Wardani rifkadea2408@gmail.com Yuniar Laksmi Eka Wardani yuniar.laksmi.eka-2021@fkm.unair.ac.id Wahyu Nur Aini wahyu.nur.aini-2021@fkm.unair.ac.id Jayanti Dian Eka Sari jayantidian@fkm.unair.ac.id <table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: College students are vulnerable to depression and anxiety, which are the main symptoms of mental emotional disorders that often occur today. Student depression can occur in female students or male students. The prevalence of mental illness characterized by symptoms and anxiety in the population aged 15 years and over is 6.1% of the total population. Purpose: The purpose of this study was to determine the relationship between gender and the incidence of depression in college students. Methods: This study used quantitative methods with data collection by incidental sampling on 54 (consisting of 36 women and 18 men) active students of the 6th semester of FIKKIA Universitas Airlangga Banyuwangi. Data collection was done online and analyzed using chi-square, using the CES-D instrument. Results: The results of the study found no relationship between gender and the level of depression in sixth semester students, with a value of ρ = 0.325 from the chi-square test, which shows there is no relationship between gender and depression. &nbsp;Conclusion: In this study it showed no relationship was found between gender and levels of depression in students.</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar Belakang: Mahasiswa rentan terhadap depresi maupun kecemasan, yang merupakan gejala utama dari gangguan mental emosional yang sering terjadi saat ini. Depresi mahasiswa dapat terjadi pada mahasiswa perempuan ataupun mahasiswa laki-laki. Prevalensi penyakit jiwa yang ditandai dengan gejala dan kecemasannya pada penduduk usia 15 tahun ke atas yaitu 6,1% dari total penduduk. Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian depresi pada mahasiwa. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pengambilan data dengan incidental sampling pada 54 (terdiri dari 36 orang perempuan dan 18 orang laki-laki) mahasiswa aktif semester VI FIKKIA Universitas Airlangga Banyuwangi. Pengumpulan data dilakukan secara daring dan dianalisis menggunakan chi-square, dengan menggunakan instrumen CES-D. Hasil: Hasil penelitian menemukan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan tingkat depresi pada mahasiswa semester VI, dengan nilai ρ=0,325 dari uji chi-square, yang menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan depresi. Kesimpulan: Dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat depresi pada mahasiswa.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table> 2024-10-02T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2024 Irma Hanifatu Sa'adah, Rifka Pramudia Wardani, Yuniar Laksmi Eka Wardani, Wahyu Nur Aini, Jayanti Dian Eka Sari, https://cmhp.lenterakaji.org/index.php/cmhp/article/view/183 THE RELATIONSHIP BETWEEN ORGANIZATIONAL ACTIVITY AND THE LEVEL OF DEPRESSION AMONG STUDENTS IN INDONESIA: A CROSS-SECTIONAL STUDY 2024-10-10T07:47:50+00:00 Yuniar Laksmi Eka Wardani yuniar.laksmi.eka-2021@fkm.unair.ac.id Irma Hanifatu Sa'adah irma.hanifatu.saadah-2021@fkm.unair.ac.id Jayanti Dian Eka Sari jayantidian@fkm.unair.ac.id <table> <tbody> <tr> <td> <p>Background: Students are free and want to innovate, but often experience stress and psychological problems due to academic and organizational responsibilities. According to the latest data, around 10.7% of Indonesia's population aged 15 years and over experience depression, and a survey of university students showed that 76% experience psychological pressure. Purpose: This study explored the relationship between the level of organizational activity and depression in sixth-semester public health students at the Faculty of Health, Medicine and Natural Sciences (FIKKIA) Universitas Airlangga. Methods: This research used quantitative methods and the CES-D instrument. The research design is a chi-square test with STATA software. Results: The results of the analysis showed that 45.83% of public health students who did not join organizations had moderate depression and 16.67% had very severe depression. Meanwhile, 40% of those who participated in the organization had moderate depression and 10% had very severe depression. Conclusion: Research shows there is no relationship between organizational activity and depression levels, with a value of (ρ=0.382 &gt; 0.05). A recommendation to improve student well-being is to provide easily accessible counseling services so that students can understand and overcome their depression.</p> <table> <tbody> <tr> <td> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Latar Belakang: Mahasiswa merupakan individu yang bebas dan berkeinginan untuk berinovasi, namun sering kali mengalami stres dan masalah psikologis akibat tanggung jawab akademis dan organisasi. Menurut data terkini, sekitar 10,7% populasi Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami depresi, dan survei terhadap mahasiswa menunjukkan bahwa 76% mengalami tekanan psikologis. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara tingkat keaktifan organisasi dengan tingkat depresi mahasiswa kesehatan masyarakat semester VI di Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran dan Ilmu Alam (FIKKIA) Universitas Airlangga. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan mengguakan instrumen CES-D. Desain penelitian berupa uji chi square dengan software STATA. Hasil: Hasil analisis menunjukkan mahasiswa kesehatan masyarakat yang tidak mengikuti organisasi, 45,83% memiliki depresi sedang dan 16,67% depresi sangat parah. Sementara yang mengikuti organisasi, 40% depresi sedang dan 10% depresi sangat parah. Kesimpulan: Penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara keaktifan organisasi dan tingkat depresi, dengan nilai (ρ=0,382 &gt; 0,05). Rekomendasi untuk meningkatkan kesejahteraan mahasiswa adalah menyediakan layanan konseling yang mudah diakses, agar mahasiswa dapat memahami dan mengatasi depresi mereka.</p> </td> </tr> </tbody> </table> </td> </tr> </tbody> </table> 2024-10-08T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2024 Yuniar Laksmi Eka Wardani, Irma Hanifatu Sa'adah, Jayanti Dian Eka Sari